Alyah Amalia
Mereka—gadis-gadis itu—sudah berias selama berjam-jam sebelumnya, mengenakan pakaian-pakaian terbaiknya, menyemprotkan minyak wangi mahal yang hanya dipakai di hari-hari penting. Segenap ‘keberkahan’ hari ini terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Untuk hilang begitu saja. Terhapus oleh make up remover yang mereka sapukan sebelum tidur malam nanti, atau lebih cepat: segera setelah mereka pulang dari sini.
Udara terasa begitu panas siang itu. Hanya satu-dua kendaraan yang sesekali lewat di sepanjang Jalan Pulomas Selatan, Jakarta Timur. Jalanan lengang itulah yang memisahkan kami dengan gedung Kalbis Institute, tempat kompetisi The Best Contact Center Indonesia 2016 (TBCCI 2016) diadakan. Saya, Aldy, dan Ius, sedang duduk-duduk di Pujasera di seberang gedung. Selain kami, ada banyak mahasiswa sedang bercengkerama sambil menikmati makan siangnya. Aldy dan Ius cuma memesan segelas kopi hitam, saya es teh.
Aldy adalah peserta dari kategori Team Leader, sedangkan Ius kategori Multimedia, saya sendiri kategori Writing. Kami bertiga mewakili Kring Pajak 1500200. Ini pengalaman pertama bagi kami bertiga. Aldy tegang, itu jelas. Mimik wajahnya, caranya mendekatkan gelas dan menyesap kopi panas, caranya menghisap dan menghembuskan kembali asap rokok, semuanya tak bisa menyembunyikan ketegangan itu.
Ius sempat mengambil gambar Aldy saat itu, dengan pose yang mengingatkan saya pada foto ikonik penyair legendaris Indonesia, Chairil Anwar. Kita bisa berdebat seharian perkara sehat-tidaknya rokok, perkara etika dan estetika yang melekati para perokok. Tapi mari simpan itu untuk diskusi lain waktu. Sekarang, saya cuma ingin bercerita mengenai ambience di TBCCI 2016 yang kami alami.
Kami memilih menyingkir ke Pujasera di seberang, bukanlah tanpa tujuan. Kami ingin menjauhkan Aldy dari kegaduhan di dalam gedung, dari keriangan para supporter, dari ketegangan peserta lain yang bersiap menunggu panggilan. Entahlah, pada suasana semacam itu, ketegangan dari satu orang seolah menjelma gelombang yang beresonansi pada orang lain. Tentu saya dan Ius tidak melakukan presentasi seperti Aldy. Pun begitu kami sepenuhnya sadar satu hal: ketegangan itu menular. Nyatanya saya dan Ius ikut tegang melihat ketegangan Aldy.
Kami harus kecewa ketika mengantar Aldy ke ruang presentasi. Ternyata kami tak bisa ikut masuk ke ruangan. Kami tak bisa melihat langsung bagaimana para peserta membawakan presentasinya, bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan para juri, maupun bagaimana respon juri atasnya. Padahal saya dan Ius sempat membayangkan skenario yang kira-kira begini: dalam ruang segi empat itu, para peserta harus berjuang mengalahkan ketegangannya sendiri. Emosi mereka mengalir bersama dingin udara yang berhembus dari air conditioner, lalu berakhir membentur dinding-dinding pucat.
Kami ingin menyaksikan sendiri cara mereka memecah kebuntuan ketika menghadapi krisis. Sayang, cerita yang mestinya menarik itu, tak bisa kami dapatkan. Kalaupun kami harus meminta peserta untuk menceritakan kembali pengalaman mereka di dalam ruang presentasi, yakinlah, hasilnya hanya akan berakhir seperti mengikuti jalannya pertandingan sepak bola dari radio. Ya, dari radio! Generasi orangtua kita pernah mengalami itu, tapi kita adalah generasi visual yang telah sedemikian rupa mengakrabi televisi. Kita adalah generasi multimedia.
Kami sadar itu dengan penuh seluruh. Karenanya, kami tak mau menyerah sampai di sana. Kami sempat berpikir untuk mengabadikan apa saja yang tampak di luar ruangan alih-alih terus berharap pada yang di dalam. Sampai Ius tiba-tiba mencetuskan sebuah ide (yang menurutnya) cemerlang: merekam keberadaan gadis-gadis cantik yang mewarnai acara TBCCI 2016 hari ini. Bukan cuma peserta saja, para supporter pun tak mau kalah cantik. Meminjam anekdot dari seorang teman lain yang tak bisa disebut namanya di sini—seberapa banyak mereka? Banyak!
Mereka—gadis-gadis itu—sudah berias selama berjam-jam sebelumnya, mengenakan pakaian-pakaian terbaiknya, menyemprotkan minyak wangi mahal yang hanya dipakai di hari-hari penting. Segenap ‘keberkahan’ hari ini terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Untuk hilang begitu saja. Terhapus oleh make up remover yang mereka sapukan sebelum tidur malam nanti, atau lebih cepat: segera setelah mereka pulang dari sini.
Setidaknya begitu, menurut Ius. Begitulah Ius.
Anda boleh menganggap tulisan ini bias gender, Anda boleh menuduh tulisan ini sebagai bentuk objektivikasi cum komodifikasi perempuan, Anda boleh membawa segala perspektif feminisme dan tetek-bengek lainnya untuk mengadili tulisan ini. Tapi tenang, kami tak akan memonopoli kebahagiaan itu sendirian. Awalnya saya ingin menampilkan semua yang kami dapat, sayang Ius tak sepakat. Saya harus patuh karena dialah yang paling bersusah payah mengumpulkan foto dan video tersebut. Ada pun tulisan ini, sifatnya hanya ‘kata pengantar’ belaka. Lain tidak. Jika Anda ingin melihat lebih banyak, Ius sudah buatkan videonya di sini.
“Karena satu dan banyak hal, ada sebagian yang baiknya cukup kita simpan sendiri—demi kebaikan bersama,” kata Ius. (ATR)
You must be logged in to post a comment.