Alyah Amalia
Apa yang membuat kalian bertahan. Lebih tepatnya, siapa. Siapa yang—jika kelak kalian menang—untuk merekalah kemenangan itu dipersembahkan. Siapa yang kepadanya selalu layak untuk kalian ucapkan, “You, yes you, you are the reason i do my best.”
Jakarta lebih ramah hari ini, setidaknya dibanding Selasa lalu. Langitnya cerah tapi tidak terik. Jam di gawai sudah menunjuk angka 08.37 saat saya turun dari mobil. Saya sengaja datang lebih pagi kali ini, meski tetap tidak pagi-pagi amat. Acara The Best Contact Center Indonesia 2016 (TBCCI 2016) masih dilangsungkan di tempat yang sama, lantai tujuh Kalbis Institute.
Orang-orang terlihat sibuk. Sebagian bergerombol di pojokan sebelah sana. Sebagian duduk dengan laptop terbuka di sebelah lainnya. Sebagian lagi berlalu lalang. Di sebuah pojokan yang berbeda, Ius duduk memegang kamera. Tripod disandarkan di sebelahnya.
Tadi malam, kami sepakat membahas tema yang sama. Para peserta TBCCI 2016 sudah bekerja keras untuk sampai sejauh ini. Persiapan mereka tidak sebentar, pengorbanan juga bukan sedikit. Tenaga dan pikiran. Waktu dan uang. Lelah dan bosan. Dan atas nama semua kerepotan itu, pertanyaan yang paling layak diajukan adalah:
Apa yang membuat kalian bertahan. Lebih tepatnya, siapa. Siapa yang—jika kelak kalian menang—untuk merekalah kemenangan itu dipersembahkan. Siapa yang kepadanya selalu layak untuk kalian ucapkan, “You, yes you, you are the reason i do my best.”
***
Agnes Loanita Sirait baru saja selesai dirias saat saya ajak mengobrol. Tulang pipinya semakin terbentuk karena blush on. Matanya sesekali berkedip saat bicara, tentu saya tak bisa mengabaikan maskara itu. Saya cuma berdua saja dengan Agnes karena Ius sedang mewancarai peserta lain.
Cantik? Pasti. Pintar? Tentu. Sejauh yang saya ingat, dia pernah beberapa kali menjadi best agent di kantor. Ya, kami sekantor dan pernah di tim yang sama. Dan ini menjadi tahun kedua bagi Agnes mewakili kantor kami, Kring Pajak 1500200.
Meski sudah tidak satu tim lagi, saya tahu Agnes selalu pulang lebih malam. Saat yang lain beranjak pulang, dia tetap di kantor. Saat yang lain sudah sampai di rumah, dia masih di kantor. Saat yang lain bercengkerama dengan keluarga, dia baru beranjak dari kantor.
Di kantor yang sudah sepi itu, dengan udara dari air conditioner yang semakin dingin setelah malam, Agnes melatih diri. Menyuntuki presentasi dengan bahan yang sama berkali-kali. Mengucapkan kata-kata yang sama berkali-kali. Mengulang gerakan yang sama berkali-kali. Berbulan-bulan. Setiap hari.
“Lelah sih, enggak. Muak, iya.”
Ekspresinya berubah saat pertanyaan itu saya ajukan. Wajah yang tadi serius tak tampak lagi. Saya tak terlalu memperhatikan apakah matanya berair atau tidak. Tapi kalau saya tidak salah lihat, cuping hidungnya ikut mengembang sedikit. Barangkali haru.
“Untuk suami. Anak. Mereka yang selama ini saya tinggalkan untuk latihan.”
Ya, Agnes sudah berkeluarga (maaf sebesar-besarnya karena judul tulisan ini misleading). Dan bagaimanapun, latihannya telah mengambil waktu yang seharusnya dinikmati bersama keluarga di rumah. Saya tak akan bilang bahwa saya tahu bagaimana rasanya menjadi Agnes. Saya laki-laki, tak mungkin menjadi seorang ibu. Lancang kalau saya sok tahu tentang perasaan Agnes.
Tapi Agnes tersenyum. Dan itu cukup.
***
Saya dan Ius berdiri di sebuah sudut, di tepi balkon. Di seberang kami, koridor panjang dipenuhi orang berpakaian warna-warni. Mereka memakai riasan tebal, gincu berwarna mencolok, dan high heels yang selalu berbunyi begitu menyentuh lantai. Ributnya minta ampun. Sejatinya saya tak pernah nyaman dengan kegaduhan macam begini tapi apa lacur.
Kami melihatnya berjalan melewati kerumunan, seorang gadis dengan rol rambut masih menempel di kepala. Mungkin dia baru dari ruang make up. Cuma beberapa detik, dia sudah menghilang dari pandangan. Kami harus berkeliling di tengah kerumunan itu untuk mencarinya.
Nama lengkapnya Rizky Pradipta Irawan, tapi minta dipanggil Kiki. Dia mewakili Bank Indonesia untuk kategori Agent English (atau English Agent?). Kami bertemu dengannya di sebuah sudut saat dia sedang bercakap dengan teman-temannya. Dia baru melepas rol rambut yang tadi setelah kami minta waktu untuk ngobrol sebentar.
Seperti yang lain, kami yakin dia juga menjalani latihan yang melelahkan, dan selalu pulang lebih malam.
“Kalau menang nanti, Kiki persembahkan untuk siapa?”
“Orangtua.”
“Itu aja? Gak ada yang lain?”
“Maksudnya?”
“Pacar, mungkin?”
“Hahaha iya. Pacar juga.”
Kekasihnya berada jauh di Eropa. LDR. Tapi meski terpisah jarak ribuan kilometer, kekasihnya tetap memberinya semangat untuk acara kali ini. Sebelum presentasi, kekasihnya sempat menelepon. Dia mengaku telepon dari kekasih membuatnya lebih tenang dan yakin semua akan baik-baik saja.
“Itu bener-bener berarti banget,” katanya sambil tersenyum.
Seringkali jarak menghasut rindu jadi cemburu. Tapi untuk kalian yang sedang jauh dengan kekasih, saya ingin mengutip kata-kata Rumi, “Lovers don’t finally meet somewhere. They’re in each other all along.”
***
Seperti Agnes, Christy Ivana juga mewakili Kring Pajak 1500200 hari ini. Dia juga selalu pulang lebih larut, mengurangi waktu istirahatnya dengan latihan yang melelahkan. Untuk pulang ke rumahnya di Ciledug, dia harus menjalani skenario seperti ini: dari kantor di Jl. Gatot Subroto, dia akan mencari teman yang bisa ditebengi. Cuma sampai di Bintaro saja. Sisanya, orangtuanya yang harus bolak-balik Ciledug-Bintaro setiap hari.
“Jadi untuk siapa kemenanganmu nanti dipersembahkan?”
“Orangtua. Karena mereka telah mengizinkan anak gadisnya selalu pulang malam.”
“Kalau pacar?”
“Enggak lah! Ngapain? Baru juga kenal sebentar, enak amat dapet persembahan segala.”
“Kamu gak punya pacar ya?”
Christy tertawa sambil berusaha mengejar Ius. Salah tingkah. Ya, sekarang kita tahu, gadis 24 tahun ini masih sendiri. Jadi … ada yang mau menghubungi 1500200?
***
Kami diam-diam mengamatinya sejak tadi. Dia sedang melamun sendirian dengan kedua tangan bertumpu pada pagar pembatas balkon. Kami tahu dia dari Bank Mandiri dari seragamnya: blazer hitam, blouse bermotif houndstooth hitam-putih, dipadu rok span warna hitam. Beberapa menit kemudian, dia berpindah ke meja registrasi. Dia memegang selembar kertas dan pulpen. Kertas itu masih kosong waktu kami hampiri.
Namanya bagus, Hayunindya Nareshwari. Panggilannya Naresh. Entah dia tahu atau tidak bahwa namanya diambil sepenuhnya dari bahasa Sanskerta. “Hayu” berarti cantik, bahasa Jawa menyerapnya jadi “ayu”. “Nindya” berarti keutamaan. Dan “Nareshwari” berbagi arti yang sama dengan prameswari, permaisuri, atau ratu. Dia memang bilang orangtuanya berasal dari Jogja, tapi Naresh besar di Sumatera Selatan.
“Apa yang memotivasi kamu selama ini?”
“Aku pernah dapat pertanyaan dari nasabah, bisa tidak ATM-nya dipakai di luar negeri? Teman nasabah tadi menimpali, memangnya mbak ini (Naresh) pernah ke luar negeri? Jadi motivasinya, aku pengen jalan-jalan ke luar negeri.”
“Ok. Kayaknya pertanyaanku harus diganti: kalau kamu nanti menang, untuk siapa kemenangan itu dipersembahkan?”
“Pastinya orangtua.”
“Ada lagi? Pacar, mungkin?”
“Iya. Pacar juga.”
Di sela-sela obrolan, Naresh sering tertawa kecil. Dia begitu mudah tertawa, kami tak perlu bekerja keras membuat suasana lebih akrab. Tipe teman yang sungguh enak diajak ngobrol berlama-lama. Dan caranya tertawa mengingatkan saya kepada Tyas Mirasih—entah sudah ada yang bilang begitu atau belum. Boleh jadi ini hanya perasaan saya saja.
***
There is always some madness in love. But there is also always some reason in madness. Tentu itu bukan kata-kata saya, Nietzsche yang bilang begitu. Sebut saya klise, tapi pada akhirnya, orang-orang tersayang yang selalu membuat kita tetap bertahan. Anak. Orangtua. Kekasih. Sejauh apapun tempat mereka berada sekarang, mereka tetaplah rumah paling nyaman untuk pulang. Tempat segala arus bermuara.
Tapi cerita hari ini harus berakhir dengan cara begini: teman-teman yang lain sudah bersiap di depan gedung, taksi sudah dipesan untuk kami pulang. Saya dan Ius harus segera turun kalau tidak mau ditinggal. Kami bersalaman dengan Naresh, berpamitan, dan bergegas menuju ke lift. Anti-klimaks ya? Tenang, Ius sudah membuat versi video cerita hari ini di sini.
Sayup-sayup suara adzan Ashar terdengar dari jarak yang entah. Jam di gawai saya sudah menunjuk angka 16.30 lewat, saat taksi akhirnya datang. Sementara Naresh masih di lantai tujuh, masih dengan kertas kosongnya yang tadi.
Teman-teman kami memang tak punya pengertian! (ATR)
You must be logged in to post a comment.