Published on 11 July 2018

Demaraksi Bahasa dan Gambar

Words by:
avatar

Alyah Amalia

Ludwig Wittgenstein seorang filsuf yang telah berjasa memberi marka tentang hubungan antara verbal dan visual. Ia seakan memberi demaraksi yang jelas antara bahasa dan gambar. Meski karyanya sangat sulit dipahami, bahkan dengan narsisnya ia tidak puas dan mengkritik bukunya yang pertama. Namun, ia adalah salah satu tokoh filsuf yang berpengaruh di abad ke-20. Setelah menerbitkan buku kedua, sebagai respon penyempurnaan dari buku pertama.

Picture theory salah satu hal penting yang dibahas dalam buku pertama Wittgenstein yang berjudul, Tractus Logico Philosophicus. Hal tersebut didasari atas dua sisi pemikiran tentang realitas dunia dan bahasa dengan jembatan teori gambar.

Suatu gambar adalah suatu fakta, karena gambar mempresentasikan fakta. Kalimat-kalimat Wittgenstein kadang begitu berputar-putar. Pada intinya itu membahas bahwa, bahasa tak sekedar bahasa, dan gambar tak sekedar gambar. Keduanya berkaitan satu sama lain. Memiliki porsinya sendiri dalam sebuah fakta ataupun realitas.

Lepas dari itu bahasa memang kadang terlalu sempit untuk memberikan deskripsi atas sesuatu, seperti karakter huruf yang juga terbatas. Gambar bisa saja berbicara lebih banyak. Mencapai batas yang tidak dapat dijangkau oleh bahasa, mencapai batas spasial yang sulit diterjemahkan dengan bahasa.

Richard Romansyah (salah satu peserta lomba talent, kategori The Best Video)

Dalam rekaman kamera Richard Romansyah (salah satu peserta lomba talent, kategori The Best Video), terlihat banyak gambar para peserta The Best Contact Center Indonesia (TBCCI). Dan meski mereka tidak sedang berkata-kata, kita dapat langsung menerjemahkan gerak tubuh mereka. Ada gambar orang-orang latihan presentasi; wajah-wajah tegang sebelum presentasi, dan beberapa orang lalu lalang dengan kesibukan masing-masing.

Beberapa hal tak menolak untuk sama. Kecuali, tentu saja wajah-wajah peserta yang baru, karena setiap hari kategori yang dipertandingkan berbeda-beda. Visualisasi seperti itu yang sudah kami akrabi tiga hari ini.Pemandangan yang sudah terekam dalam kepala kami, tipikal acara yang sudah bisa kami tebak.

Sudah ada gambar dalam kepala kami, sudut-sudut ruangan Kalbis dan beberapa ingatan tentang wajah peserta hari-hari sebelumnya. Artinya sebelum datang kata-kata, visualisasi atau gambar seperti sudah lebih dulu muncul. Sudah ada penggambaran lebih umum di kepala kami.

Kami menanyai Richard untuk mengetahui pengejawantahan dan makna visual yang menjadi konsep dalam pembuatan videonya. Pria Ambon ini menjelaskan  tentang apa yang penting dan tidak penting dalam masalah pengambilan gambar. Menyesuaikan waktu pengambilan gambar dengan schedule peserta yang akan dijadikan model dalam video merupakan kendala paling awal yang diakuinya.

Richard Romansyah sedang merekam salah satu peserta.

Tahun ini merupakan tahun ketiga keikutsertaannya dalam TBCCI untuk mewakili perusahaan yang sama, masih di bawah naungan PT Bank Central Asia, Tbk. Richard memiliki pengalaman ikut serta pada banyak kompetisi juga sebelumnya. Selain itu, ia juga memiliki background pendidikan yang mendukung. Richard kuliah jurusan broadcasting dan itu menjadi bekal baginya untuk terus berkarya.

“Kalau untuk alat kita memakai yang biasa aja, camera Canon 60D dan 80D. Untuk editing cukup menggunakan laptop. Tapi proses rendering menjadi cukup lama,” tutur Richard dengan ringan sembari membereskan alat-alat yang baru dia gunakan shooting.

Dengan segala ilmu yang telah ia dapat dari bangku kuliah dan kompetisi yang telah diikutinya, dengan rendah ia menambahkan. “Untuk pengambilan gambar kita masih menggunakan teknik biasa. Medium shot, serta long shot.”

Dunia tempat semua realitas dan penggambaran itu bermuara, menyediakan banyak hal yang belum mampu kita ketahui dengan sempurna. Melihat dunia dengan keragaman yang ada. Lewat mata kesan pertama didapat. Lewat mata penolakan bisa mendekat. Lewat mata kita merekam semua gambar. Gambar yang baik adalah gambar yang bisa diterima semua mata. Mata kita adalah lensa terbaik yang diberikan Tuhan untuk melihat realitas.

Pada saat melakukan pengeditan tulisan ini kami mendengarkan lagu dari Wilco berjudul “Kamera” dari album Yankee Foxtrot Hotel. I need camera to my eye // to my eye, reminding // which lies i have been hiding // which echoes belong. Kira-kira begitulah penggalan liriknya. Mendengarkan dari speaker laptop adalah pilihan terakhir dalam hal mendengarkan musik, suara frekuensi tinggi yang tidak terlalu nyaman didengar telinga. Tapi karena Yankee Foxtrot Hotel adalah album yang luar biasa semua itu bisa sedikit dikesampingkan.

 

PT Bank Central Asia, Tbk (DH & HNP)