Published on 20 August 2019

Artificial Intelligence di Contact Center, Kawan atau Lawan?

Words by:
avatar

ICCA Indonesia

“The thing that’s going to make artificial intelligences powerful is its ability to learn, and the way AI learns is to look at human culture. AI is neither good nor evil.” Dan Brown dan Oren Etzioni.

Bergerak ke masa lampau, sejarah mencatat sebuah pencapaian besar manusia di bidang teknologi pada tahun 1997. International Business Machines Corporation (IBM) mengembangkan komputer yang mengalahkan Garry Kasparov seorang juara dunia catur yang sebelumnya tidak pernah terkalahkan dalam pertandingan. Peristiwa itu menuai respon dari seluruh dunia dan sejak saat itu, perhatian umat manusia pada kecerdasan buatan semakin besar. Di kala itu umat manusia merasakan banyaknya hal yang mungkin dapat diberikan oleh teknologi, seperti menemukan solusi atas permasalahan kompleks yang bagi manusia mungkin membutuhkan waktu jutaan tahun untuk menemukannya, namun dengan teknologi, solusi tersebut dapat ditemukan semudah menjentikkan jari. Ya, mungkin hal itu benar. Tetapi, teknologi yang memiliki sebuah kecerdasan buatan atau biasa disebut Artificial Intelligence (AI) membawa segudang ancaman terhadap umat manusia. Jadi, apakah AI merupakan kawan atau justru lawan dari umat manusia?

AI merupakan pengembangan sistem komputer yang berfokus pada pembentukan mesin agar dapat bekerja dan berinteraksi dengan memanfaatkan kecerdasan manusia, seperti menggunakan persepsi visual, mengenal bunyi dan suara, membuat keputusan, menerjemahkan bahasa, dan sebagainya (The English Oxford Living Dictionary). Walaupun frasa AI terdengar rumit dan asing, namun pemanfaatannya mudah ditemukan dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Di dunia contact center, perkembangan AI sudah banyak dikembangkan. Kecerdasan buatan berbentuk chatbot atau layanan otomasi pesan sudah banyak digunakan oleh berbagai instansi dalam memberikan pelayanan konsumen. Peran kata kunci yang tepat serta respon dalam bahasa sehari-hari yang luwes tidak akan membuat konsumen mengira bahwa yang menanggapi percakapannya adalah sebuah robot. Contoh lain dari AI di contact center misalnya Speech-to-Text. Seperti fitur pada Siri, sebuah asisten virtual pada telepon genggam iPhone, teknologi Speech-to-Text dapat mengubah suara pengguna menjadi sebuah teks dengan hitungan detik. Sehingga dapat memaksimalkan durasi penanganan yang dilakukan oleh agen contact center dalam menangani konsumen. Selain itu, Perusahaan dapat meningkatkan indeks kepuasan konsumen (customer satisfaction index), yang biasa disingkat sebagai CSI, dengan memanfaatkan AI untuk meningkatkan layanan contact center. Kata kunci dan respon yang biasanya disampaikan oleh konsumen dapat diformulasikan dengan algoritma sistem sehingga menjadi sebuah template jawaban atas pertanyaan konsumen melalui media sosial dan surat elektronik. Dengan pemanfaatan fitur AI tersebut, konsumen bisa memperoleh respon secara cepat, bahkan di luar jam kerja pada umumnya karena AI dapat beroperasi selama 24 jam tanpa terbatas waktu layanan agen contact center.

Perkembangan AI dan teknologi yang pesat sedikit demi sedikit merubah pola perilaku konsumen saat ini. Di zaman yang memerlukan segala sesuatunya dengan cepat, konsumen menuntut adanya solusi yang cepat dan tepat terhadap semua permasalahannya. Menurut survei yang dilakukan oleh The Genesys State of Customer Experience (Genesys), terdapat beberapa hal yang diinginkan oleh konsumen pada saat mereka menghubungi contact center.

The Genesys State of Customer Experience (Genesys)

Sebanyak 20% konsumen menginginkan masalah atau pertanyaan mereka terjawab pada kontak pertama dengan layanan contact center. Selain itu, dari sebagian besar konsumen tersebut, 90% golongan milenial saat ini juga memilih berinteraksi dengan contact center menggunakan telepon genggam. Preferensi alat komunikasi konsumen tersebut menggambarkan karakter konsumen masa kini yang mengutamakan kepraktisan dan kecepatan. Menjadi sebuah hal yang penting bagi contact center untuk mempertimbangkan preferensi konsumen tersebut dalam memberikan pelayanan.

The Genesys State of Customer Experience (Genesys)

Persentase tersebut menunjukkan bahwa konsumen menganggap interaksi yang efektif dan efisien serta langsung memberikan hasil adalah hal yang sangat penting. Agen contact center yang terampil dan berpengetahuan serta respon yang cepat adalah dua hal yang dituntut oleh konsumen setelah kontak pertama yang efektif, disusul oleh profesionalisme dan keramahan agen. Melalui hasil survei dimaksud, tampak bahwa konsumen menginginkan contact center yang efektif, dapat diandalkan, dan profesional. Contact center harus dapat memenuhi hal-hal tersebut agar dapat memberikan pelayanan yang baik bagi konsumen. Baik buruknya pengalaman konsumen tentunya akan berdampak bagi lembaga atau perusahaan. Bukanlah hal yang mustahil bagi sebuah AI untuk dapat dimanfaatkan oleh call center untuk dapat menunjang agen dalam memberikan pelayanan yang cepat, efektif dan kredibel.

Penggunaan AI memiliki manfaat yang banyak di dunia contact center. Namun pada kenyataannya, penggunaan AI di dalam sebuah contact center memiliki banyak tantangan. Berdasarkan hasil survei Vanson Bourne dan dipublikasikan tahun 2019, salah satu hal yang menjadi tantangan perusahaan untuk menerapkan AI dalam aktivitas contact center adalah belum banyaknya manusia yang dapat mengoptimalkan cara kerja dan fitur AI. Seorang agen yang cakap sangatlah diperlukan dalam mengoptimalkan cara kerja AI. Selain itu besarnya biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah sistem atau mesin AI menjadi salah satu tantangan yang besar dalam menerapkan sistem berbasis kecerdasan buatan ini. Sebanyak 70% perusahaan masih belum memaksimalkan potensi dari AI. Selain ketidakpahaman para pegawai perusahaan terhadap penggunaan AI, sebanyak 39% responden survei menyatakan bahwa AI berpotensi untuk menggantikan pekerjaan dan peran manusia dalam aktivitasnya menangani keluhan, pertanyaan dan informasi dari konsumen dan masyarakat pada layanan contact center.

Beberapa orang bahkan menilai perkembangan AI dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Elon Musk, seorang Chief Executive Officer (CEO) dari PayPal, SpaceX dan Tesla Motors yang memiliki kekayaan sebesar lebih dari 20 miliar dollar Amerika Serikat pernah mengungkapkan, “perkembangan AI dapat lebih berbahaya dibandingkan perang nuklir dan jika ada kecerdasan buatan super yang pengoptimalisasian dan fungsi kegunaannya merugikan manusia di kemudian hari, maka itu akan berdampak sangat buruk terhadap umat manusia”. Dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut bahwa AI memiliki ancaman yang sangat besar terhadap keberadaan umat manusia, bahkan mungkin memilki dampak negatif yang banyak terhadap apa yang sudah dicapai oleh peradaban manusia hingga saat ini.

Di perkembangan zaman saat ini, teknologi, sistem dan robot di berbagai macam bidang sudah mulai menggantikan peran manusia. Penelitian terbaru dari Brookings Institution di Amerika Serikat berjudul “Automation and Artificial Intelligence: How machines are affecting people and places”, mengungkapkan bahwa ¼ pekerjaan di Amerika Serikat terancam digantikan oleh AI dan peran manusia dalam sebuah pekerjaan akan berkurang. Google bahkan mengungkapkan bahwa perusahaannya sedang mengembangkan sebuah kecerdasan buatan yang dapat menggantikan pegawai call center-nya. Google Cloud Chief Scientist, Fei-Fei Li menyatakan Google telah menemukan fakta bahwa di era teknologi saat ini konsumen sangat mempertimbangkan waktu dalam menemukan solusi. Dengan permasalahan yang sangat kompleks dan kekurangmampuan manusia untuk dapat bertahan dan memberikan solusi terbaik dalam sebuah permasalahan yang kompleks, Google berencana untuk menggantikan peran manusia dalam tim call center-nya.

Ya, sulit dipercaya bahwa sebuah perusahaan perusahaan sebesar Google yang memiliki pengguna dalam jumlah besar akan mengurangi peran manusia dalam menangani keluhan dan layanan contact center-nya. Apakah kondisi seperti ini akan berlanjut terus di perusahaan-perusahaan lainnya? Kalau seperti itu, bisa jadi bahwa ancaman terbesar dari keberadaan AI dalam contact center adalah terancamnya lapangan pekerjaan para agen di dalam sebuah contact center.

Ketakutan seperti inilah yang masih membayangi benak dari para pelaku industri untuk dapat memaksimalkan potensi AI, termasuk dalam aktivitas contact center. Hal ini sangatlah dinilai wajar. Bagaimana tidak? AI dapat menemukan solusi permasalahan dengan hitungan detik atau bahkan milidetik. AI memiliki segudang data kasus permasalahan secara detil, dimana manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk menyimpan hal historis semacam itu. Sehingga, sangatlah mungkin bagi AI untuk lebih berprestasi dalam menangani permasalahan konsumen di contact center. Survei Vanson Bourne mengungkapkan bahwa sebanyak 62% responden menyatakan AI dapat meningkatkan kepuasan konsumen, meningkatkan efisiensi hingga mengurangi angka kesalahan yang biasa dilakukan oleh para agen di sebuah contact center. Sekali lagi, dengan ribuan kelebihan AI dibandingkan dengan manusia, apakah peran manusia masih diperlukan?

Perkembangan teknologi AI saat ini, tidak dapat terhindarkan. Manusia tidak dapat memilih kapan dan dimana perkembangan teknologi dapat berhenti, bahkan kita tidak dapat memperlambat perkembangan teknologi. Mesin punya perhitungan yang tepat, tapi manusia punya pemahaman. Mesin punya instruksi, tapi manusia punya tujuan. Mesin punya tugas, tapi manusia punya semangat dan gairah. Layanan dalam dunia contact center merupakan wadah pertemuan antara emosi dan perasaan manusia yang berujung pada solusi dan kepuasan konsumen. Mesin mungkin dapat memecahkan permasalahan dalam hitungan detik, tapi pertanyaan yang muncul adalah apakah mesin buatan tersebut memberikan solusi dengan memahami manusia sebagaimana manusia dapat memahami lawan bicaranya? AI tidak akan pernah bisa memberikan simpati dan empati yang diperlukan konsumen, setidaknya sampai saat ini. Berdasarkan survei Genesys, sebagian besar konsumen lebih menyukai percakapan oral, misalnya melalui telepon pada saat berkomunikasi dengan contact center. Biasanya mereka yang memiliki kebutuhan yang mendesak dan penting, mau mengeluarkan energi serta waktu untuk bersusah payah menghubungi seorang agen di contact center. Lalu, kenapa AI harus ditakutkan?

Responden Survei Vanson Bourne juga mengungkapkan bahwa efisiensi bukanlah manfaat utama dari implementasi AI di contact center. Jika sebuah contact center mampu mensinergikan antara AI dengan kemampuan analisis dan teknik seorang agen dengan baik, tidaklah mustahil bagi perusahaan tersebut untuk mendapatkan produktivitas agen yang lebih baik, memahami dan memecahkan permasalahan konsumen dengan cepat, menghemat waktu penanganan keluhan, hingga dapat meningkatkan kepuasan konsumen. AI bukanlah lawan bagi manusia, bukan juga menjadi ancaman bagi pekerjaan agendi contact center. Melihat perkembangan AI yang dapat mengalahkan kecerdasan manusia dalam hitungan detik dimana manusia memerlukan waktu bertahun-tahun, alangkah indahnya melihat bagaimana para agendapat memecahkan setiap permasalahan konsumen dengan ketepatan dan kecepatan memberikan solusi dan tidak melupakan kepuasan konsumen.

Manusia seharusnya tidak perlu khawatir akan keberadaan AI saat ini. Manusia seharusnya khawatir akan ketidakmampuannya dalam memanfaatkan potensi maksimal dari AI. Sebagaimana sebuah kutipan dari Steve Jobs, Technology is nothing. What’s important is that you have faith in people, that they’re basically good and smart, and if you give them tools, they’ll do wonderful things with them”. Dibalik jutaan kelebihan AI ada satu hal yang tidak bisa dilakukan dan hanya bisa dilakukan oleh manusia, yaitu bermimpi dan memahami dengan baik kecemasan, perasaan, dan keluhan dari permasalahan yang ada.

%d bloggers like this: